Ketika memilih hidup biasa-biasa saja bukan berarti kamu gagal.
Di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern yang terobsesi dengan produktivitas dan pencapaian, memilih hidup tanpa ambisi besar sering kali dianggap aneh, bahkan salah. Kita hidup di era yang mendewakan kerja keras, naik jabatan, mengejar target, dan segala bentuk ekspresi dari apa yang disebut sebagai ambisi.
Sekarang, pertanyaannya: apakah semua orang harus menjadi ambisius? Dan apakah menjadi tidak ambisius adalah sesuatu yang perlu dikoreksi atau dikritisi?
Narasi Besar Ambisi
Pernah dinasehati oleh orang tua atau kakek nenek seperti ini: "sekolah yang rajin, biar nanti bisa kerja di pabrik yang bagus dan gajinya banyak?" Sejak dini, kita diajarkan untuk menjadi “seseorang.” Sejak masih belia kita didorong untuk punya mimpi besar, bersaing, dan bakan kalau bisa menaklukkan dunia.
Memang, tidak ada yang salah dengan itu. Ambisi itu ibarat bahan bakar, bisa menjadi tenaga penggerak untuk banyak hal-hal baik.
Tetapi ketika ambisi itu menjadi sebuah norma sosial yang kesannya dipaksakan dan semua orang dituntut untuk menjadi lebih, hanya demi dipandang sukses oleh orang-orang sekitar, maka yang terjadi tidak lagi bisa disebut pengembangan diri—melainkan tekanan kolektif.
Budaya bekerja keras, atau hustle culture kalau kata anak-anak Gen-Z, misalnya, telah mengakar dalam kehidupan anak muda masa kini. Ungkapan seperti “kerja keras dulu, nikmati kemudian,” “tidur hanya untuk orang yang malas,” atau “jangan mau kalah saing dengan tetangga sebelah” menjadi semacam mantra harian yang memaksa anak-anak muda masa kini terobsesi untuk terus memacu diri tanpa jeda. Hadirnya media sosial dengan kebiasaan flexing-nya ikut memperparah keadaan ini. Mudahnya mengakses sosial media saat ini membuat kita jadi semakin sering melihat pameran-pameran kesuksesan orang lain dalam bentuk post dan highlight. Mulai dari promosi jabatan, lulus kuliah dengan nilai terbaik dan hadiah-hadiah mewah, vlog-vlog belanja dan makan-makan yang serba mahal, seolah tidak bisa lagi kita filter dan semua pengaruh-pengaruh hedon itu masuk langsung ke kepala kita lewat mata dan jemari tangan kita.
Tidak heran, jika saat ini banyak orang yang depresi. Merasa bersalah dan stress saat hidup mereka tidak seambisius dan sespektakuler postingan-postingan itu.
Tidak Ambisius Bukan Berarti Malas
Saya perlu meluruskan satu hal terlebih dahulu: tidak semua orang yang memilih hidup tanpa ambisi besar itu malas. Di dunia ini masih ada kok orang-orang yang tetap bekerja dengan baik, hidup dengan disiplin dan sederhana, membangun relasi sosial yang sehat—tanpa harus mendefinisikan hidup mereka lewat target-target besar yang tadi beberapanya saya sebutkan.
Mereka yang tidak ambisius, bisa jadi justru lebih sadar akan kebutuhan dan batasan dirinya. Mereka tidak mengejar status atau angka-angka, tapi memilih kehidupan yang lebih tenang, cukup, dan seimbang.
Ada banyak contohnya orang-orang tidak ambisius seperti itu di negara kita ini. Misalnya guru-guru sukarelawan yayasan-yayasan kemanusiaan (voulenteer) di desa atau tempat-tempat terpencil yang tetap setia mengajar walau gajinya kecil atau bahkan tidak digaji, petani-petani yang hidup dan makan dari tanahnya sendiri tanpa keinginan pindah ke kota, atau karyawan-karyawan biasa yang tidak tertarik naik jabatan karena lebih memilih waktu untuk keluarga.
Pertanyaan saya, apakah mereka semua itu tidak sukses? Atau hanya tidak sesuai dengan definisi sukses pada umumnya?
Pilihan Gaya Hidup Alternatif
Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan seperti slow living, quiet quitting, hingga enoughism mulai ramai dibicarakan, utamanya di sosial media. Gaya hidup ini bisa dibilang adalah antitesis dari gaya hidup serba instan hari-hari ini. Fenomena ini juga dapat dikatakan sebagai sebuah respons kekecewaan dan atau kemuakan orang-orang terhadap tekanan hidup yang dirasa terlalu menuntut seperti saat ini.
Gaya hidup alternatif itu menekankan bahwa hidup tidak harus selalu tentang menjadi yang terbaik atau menghasilkan yang terbanyak. Ada nilai dalam menjalani hidup secara perlahan, sadar, dan sesuai ritmenya.
Hidup tanpa ambisi bukannya tidak memiliki risiko. Di tengah masyarakat yang sangat kompetitif, seseorang bisa dipandang aneh atau kurang semangat jika tidak ingin naik level. Ketika semua orang di kantor berlomba-lomba ambil lemburan untuk hanya terlihat perform di mata bos dan bahkan ada yang sampai rela jadi “madu” hanya demi sebuah jabatan dan uang, tapi kalau kamu sering pulang ontime dan jarang lembur di weekend, maka bisa jadi kamu akan dianggap aneh dan pemalas. Tapi justru karena itulah penting untuk menyuarakan bahwa pilihan hidup seperti itu harusnya tetap valid dan tetap layak untuk dihargai.
Realitanya Tidak Semua Orang Mau atau Bisa Berlomba
Ada banyak faktor yang membuat seseorang memilih untuk hidup tanpa ambisi besar. Bisa jadi karena trauma masa lalu, burnout di pekerjaan yang sudah dijalani bertahun-tahun, atau karena memang merasa damai saja dengan kehidupan yang pelan dan sederhana. Ada juga orang-orang seperti itu yang memilih jalan ini karena keyakinan spiritual atau filosofi hidup mereka masing-masing.
Hal yang perlu ditekankan adalah: hidup yang tidak ambisius bukan berarti hidup tanpa tanggung jawab. Ini bukan tentang lelah, menyerah dan lalu kalah, tapi bisa juga tentang memilih bentuk keberhasilan yang berbeda.
Seseorang bisa saja tidak mengejar sorot lampu panggung, tapi tetap menjadi cahaya bagi orang-orang terdekatnya. Seseorang bisa tidak ingin menjadi pemimpin, tapi tetap memberi teladan dalam sikap dan perbuatannya sehari-hari.
Menyusun Ulang Definisi Sukses
Apa itu sukses?
Seharusnya jika kamu meresapi tulisan ini sejak dari awal, kamu akan tahu kalau pertanyaan itu sewajarnya tidak bisa dijawab dengan satu kalimat atau kata yang mutlak, karena jawabannya bisa berbeda-beda bagi setiap orang. Bagi sebagian orang, sukses adalah ketika pendapatannya tinggi dan jabatannya besar. Tapi bagi yang lain, sukses bisa berarti pulang ke rumah tanpa beban, makan dengan tenang, dan tidur dengan nyenyak tanpa beban pikiran, atau sekedar punya waktu untuk menemani anak bermain di akhir pekan tanpa harus khawatir mendapatkan pesan dari kantor yang pasti bisa menganggu quality time-nya bersama keluarga.
Dengan menyusun ulang definisi sukses kita masing-masing, kita bisa membuka ruang untuk bisa merasa cukup—bukan karena kita tidak mampu mencapai lebih lagi, tapi karena kita tahu pasti kapan harus berhenti. Ini bukan tentang kemauan, tapi kemampuan, pahami batasanmu.
Berhenti Berlomba, Mulai Mendengar Diri Sendiri
Hidup tidak harus spektakuler untuk bisa bermakna. Kita tidak wajib tampil menonjol untuk hanya bisa dianggap berhasil. Tidak apa-apa jika kita tidak ambisius. Tidak apa-apa jika kita memilih jalur yang lebih sunyi.
Yang terpenting, kita hidup dengan sadar penuh, tidak menyakiti, dan tidak kehilangan diri sendiri.
Karena pada akhirnya, untuk menentukan apakah hidup kita berarti, bukan dari seberapa jauh kita berlari—melainkan seberapa damai kita saat berhenti.