Polisi Tidur

No Comments

    Sebagai seorang “budak korporat”, bangun tidur dan pergi ke kantor setiap pagi adalah rutinitas yang cukup membosankan bagi saya. Tetapi daripada membuang-buang waktu dengan ngedumel, biasanya saya mengalihkannya dengan memikirkan hal-hal yang bisa membuat saya enjoy hingga perjalanan sampai ke kantor terasa singkat bagi saya.

    Ada hal yang unik yang saya temukan di pagi itu dan membuat saya tidak bisa berhenti memikirkannya sepanjang perjalanan menuju kantor. Pagi itu saya melewati jalan yang sudah biasa saya lewati untuk menuju ke kantor. Di sana ada seorang anak kecil yang sedang belajar naik sepeda roda dua dan ketika melewati polisi tidur yang ada di depannya, dia terjatuh. Dia langsung berusaha secepat mungkin berdiri lagi tanpa menunjukkan tanda-tanda kesakitan sekalipun lututnya terbentur jalanan aspal yang keras. Tanpa basa basi dan tanpa menangis tersedu-sedu ia segera berdiri dan membenarkan posisi sepeda kecilnya. “Wow!” saya tidak sadar mengeluarkan kata itu dan lalu meminggirkan sepeda motor, berpura-pura menunggu orang lewat, hanya agar bisa terus memperhatikan si anak kecil itu.

    Ia mendorong sepedanya melewati polisi tidur itu, lalu berbalik arah untuk kembali menantang polisi tidur yang tadi ‘mengalahkannya.’ Anak kecil itu kemudian mengayuh sepedanya dengan mantap. Kali ini dia berhasil melewatinya, walaupun sepedanya jadi sedikit kurang stabil dan hampir terjatuh lagi, ia masih bisa menahannya dengan kakinya sendiri. Tak lama kemudian seorang perempuan menghampirinya. Dia adalah kakak si anak kecil itu. Si anak kecil kemudian meminta kakaknya itu untuk mengajarkannya cara terbaik untuk mengayuh sepeda melewati polisi tidur.

    Karena saya merasa si anak sudah aman di tangan kakaknya, saya melanjutkan kembali perjalanan ke kantor sembari memikirkan kejadian yang baru saya saksikan tadi. Kata-kata pertama yang terlintas di pikiran saya adalah, “Anak kecil tadi lebih hebat dari kebanyakan orang-orang dewasa di luar sana.” Kebanyakan orang dewasa selalu berusaha menghindari rintangan yang ada di hadapannya dengan mencari jalan alternatif lainnya. Sama seperti yang saya lakukan jika saya harus melewati sebuah jalan yang memiliki beberapa tanjakan dan polisi tidur di sepanjang jalannya. Rasanya kurang menyenangkan. Apalagi jika ditambah dengan perasaan negatif seperti perut yang terasa seperti diacak-acak dan tangan yang pegal karena harus mengontrol gas dan rem bergantian di sepanjang jalan. Setiap kali akan melewati jalanan itu saya selalu berpikir, “Bagaimana caranya saya bisa melewati jalanan ini dan sampai di tujuan saya tanpa perlu mengalami perasaan-perasaan yang tidak enak itu?” Otak saya segera menjawab, ”Silahkan menunggu keajaiban!”. Tapi keajaiban seperti itu tentu saja tidak akan pernah datang.

    Singkirkan sejenak harapan dan mimpi Anda yang terlalu mustahil untuk menjadi nyata itu. Cara terbaik dan tercepat untuk menghadapi sebuah masalah adalah maju dan lalui rintangan yang ada di depan, tidak ada cara lain yang lebih baik dan lebih cepat. Sama seperti si anak kecil dengan sepedanya tadi yang berani menantang kembali rintangan yang sebelumnya berhasil menjatuhkan dirinya. Kebanyakan orang-orang tua tidak mau mengakui, bahwa kegagalan yang ada atau yang telah terjadi, faktor penyebabnya adalah dari dalam diri mereka sendiri. Mereka mencari kambing hitam untuk disalahkan. Misalnya jika mereka terjatuh seperti anak kecil tadi, maka mereka akan mengeluh dan menyalahkan keadaan, “Kenapa sih polisi tidur ini harus ada di sini?”, “Kenapa dia harus ada di jalan ini sehingga dia tertabrak oleh saya?” Orang-orang yang seperti itu akan sulit melihat ke dalam dirinya sendiri. Pandangan mereka cenderung melihat ke arah luar dirinya dan menyalahkan segala sesuatu, atau singkatnya kita bisa katakan mereka itu orang yang tidak mau disalahkan, selalu merasa benar sendiri.

    Sikap mental seperti itu, menurut saya, sangat amat berpengaruh dengan pola pikir mereka dalam hal mencapai kesuksesan hidupnya. Saya menyadari ada tipe-tipe orang yang selalu hidup dan bermain dalam imajinasinya sendiri. Mereka senang membayangkan apa yang akan dilakukan apabila sudah memiliki banyak uang dan mencapai kesuksesan, bahkan berimajinasi jauh hingga ke jenjang pernikahan misalnya. Mereka dapat membayangkan ingin memiliki berapa anak dan hidup di rumah yang mewah dan sebagainya. Mereka dapat membayangkan mereka hidup bersama dengan seseorang yang bahkan mereka tidak kenal, misalnya wanita cantik  atau pria tampan yang baru saja lewat di depan mereka.

    Sadarlah kawan, hal tersebut tidak akan pernah terjadi! Pemikiran itu akan membuat Anda terus berkubang dalam lautan mimpi Anda sendiri. Syukur-syukur kalau Anda mau berusaha dan bekerja keras untuk mewujudkan mimpi Anda itu. Biasanya tipe orang yang seperti ini maunya hanya bermimpi, bermimpi, dan bermimpi. Mereka hanya mau “tidur-tiduran” saja. Adakah orang yang bisa bermimpi saat sedang fokus bekerja? TIDAK ADA. Orang-orang seperti itu akan mulai menyalahkan orang lain yang mereka rasa hidupnya lebih sukses daripada mereka. Kemudian tak lupa berkeluh kesah, “Ah, kenapa sih Tuhan harus menciptakan saya sebagai orang miskin begini,” atau “Jelas lah mereka lebih sukses daripada saya, dia memang dilahirkan dengan bakat sukses.” Mereka tidak akan pernah mau mengakui bahwa yang jadi masalah sebenarnya adalah di dalam diri mereka sendiri. Hal ini yang membuat saya tadi berpikir anak kecil itu jauh lebih pintar, lebih kuat, lebih gigih daripada orang-orang yang mengaku dirinya dewasa.

    Mari saya jelaskan lagi dengan sebuah analogi. Ada dua orang yang sudah sangat tua bernama Abi dan Bani. Mereka berdua memiliki cucu-cucu yang sangat nakal. Suatu hari cucu-cucu mereka bermain bersama dan kemudian memiliki ide jahil untuk mengoleskan benda yang baunya sangat tidak sedap di atas bibir kakek mereka masing-masing.

    Kakek si Abi kemudian bangun dari tidur siangnya dan mencium bau yang dioleskan cucunya tadi. Ia keluar dari kamar tidunya sambil berteriak-teriak kamarnya berbau tidak sedap. Ia kemudian berjalan ke ruang tamu, ke ruang makan dan bahkan sampai ke jalan raya pun dia masih mencium bau itu dan kemudian dia berkata, “Seluruh dunia bau!”

    Berbeda dengan kakek si Bani. Setelah berkeliling rumah ia tetap mencium bau yang sama, dia kemudian pergi ke luar rumah. Ketika sampai di jalan raya dan masih mencium bau tidak sedap itu ia kemudian sadar bahwa bau itu berasal dari dirinya sendiri.

    Sama halnya dalam mencapai kesuksesan. Setelah mengalami kegagalan, beberapa orang mulai menganggap ada yang salah dengan orang lain atau keadaan di sekitarnya. Padahal seharusnya ia segera bangun dan menyadari bahwa ada ‘polisi tidur’ dan ‘bau-bauan’ pada dirinya yang perlu diatasi segera. Bukannya mengeluh dan menyalahkan seisi dunia.

    Jadi bagaimana dengan Anda? Apakah Anda seperti anak kecil yang bersepeda itu, yang berani menghadapi tantangan dan meminta pertolongan dari orang lain yang lebih berpengalaman? Atau Anda lebih suka mengeluh saja dan membenci orang-orang yang sudah lebih berhasil dibandingkan Anda?


Mantan Polisi Tidur,
Gitakara Ardhytama
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments

Posting Komentar