Pelangi Abu-Abu

No Comments


Hujan


Secangkir teh hangat pagi itu adalah kamuflase dingin yang sempurna, yang dicipta dari kerinduan sepasang telinga yang lama tak menerima hangatnya sapa pada kalimat sesederhana “selamat pagi cinta.”

Sepasang bangku di teras rumahku adalah saksi bisu, betapa kita pernah punya lusinan cerita yang dulu sering kita bagi di malam-malam minggu.

Hujan yang merintik, penuh bisik akan kenangan silam yang kian lama kian menelisik. Compang camping hati ini, tercabik bayang-bayangmu yang semakin lama semakin keras mengusik. Aku diam menyepi, desah suaramu semakin jelas berbisik di telinga ini. Kala itu dinginnya cuaca tak mengalahkan dinginnya kata perpisahan yang sempat kau lisankan di akhir pertemuan.

Di bawah mendung yang bergemuruh, kata-katamu seakan aba-aba untuk hatiku kembali meluruh.

Aku tak pernah mengerti bagaimana Tuhan mampu menciptakan hujan. Diantara butiran-butirannya yang jatuh ke bumi, selalu ada selusin kenangan-kenangan manis tentang seseorang yang pernah kita cintai. Pernahkah kau dengar nasihat orang tua bahwa lelaki tak boleh meneteskan air mata? Bagiku itu tak adil. Lelaki juga punya hati, kami berhak untuk merasa tersakiti dan menangis karena orang yang kami sayangi.

Mungkin aku lelaki paling nelangsa. Sibuk mengusahakan bahagiamu, hingga lupa mengobati lukaku dan kembali berdarah-darah saat teringat kau pergi memalingkan wajah.

Aku benci saat hujan mulai berhenti, karena saat hujan mulai mereda air mata masih membasahi pelupuk mata.


Hariku abu-abu.

Pelangi tak lagi berwarna di mata ini.


- Gitakara Ardhytama
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments

Posting Komentar