Sebagai seorang manusia, adalah wajar jika kita memiliki kebutuhan. Tua, muda, anak-anak, semunya memiliki kebutuhan. Bahkan hewan sekalipun. Abraham Maslow, seorang psikolog terkenal dari Amerika yang mencetuskan teori yang sangat terkenal: “Hierarchy of Needs” atau Teori Hirarki Kebutuhan. Di dalam teori itu Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki 5 (lima) kebutuhan dasar dalam hidup. Kebutuhan-kebutuhan itu adalah: kebutuhan fisiologis, kebutuhan keselamatan dan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Sebenarnya, dalam mengemukakan teori itu Maslow menggunakan seekor monyet dalam observasinya. Pertanyaannya, apakah hidup se-simpel itu? Tentu tidak!
Dalam prakteknya, jika kita lihat masyarakat dunia saat ini, khususnya orang Indonesia, keinginan untuk dapat tampil gaya mengalahkan segalanya. Pemenuhan kebutuhan dari hirarki Maslow tadi seolah dijadikan dalih untuk membenarkan perilaku hidup hedonis atau konsumtif. Kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri seolah lebih diutamakan daripada kebutuhan-kebutuhan yang lainnya. Gadget menjadi barang yang paling banyak dibeli oleh orang Indonesia selama tahun 2000-an. Argumen ini tentu tidak asal bicara. Menurut survei yang dilakukan oleh GFK Asia pada tahun 2013, Indonesia termasuk dalam peringkat pertama dalam hal pembelian smartphone terbanyak dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lain, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja dan Filipina. Dari total akumulasi nominal pembelian smartphone di seluruh dunia yang nilainya sebesar US$ 10,8 milyar, Indonesia menyumbangkan nilai sebesar US$ 3,33 milyar atau sekitar 31% dari total akumulasi nilai pembelian smartphone di dunia. Bisa dibayangkan, betapa kayanya orang-orang Indonesia jika hanya melihat data tersebut.
Sebenarnya, jika ditarik mundur ke belakang, Indonesia sudah sejak lama dinobatkan menjadi negara paling konsumtif di dunia. Sejak tahun 1970-an Indonesia sudah terkenal akan budaya konsumtifnya. Bahkan ajaibnya, saat krisis global melanda Indonesia tahun 1998 dan krisis global tahun 2008, Indonesia seolah tidak terpengaruh dengan krisis moneter kala itu. Nilai belanja masyarakat Indonesia meningkat secara signifikan, baik di dalam maupun di luar negeri. Tak heran jika Indonesia adalah “lahan basah” bagi para importir barang-barang konsumtif dunia, karena pangsa pasar di Indonesia benar-benar amat sangat besar dan terus berkembang tiap tahunnya. Jika pada saat ini kita banyak sekali menemukan barang-barang "made in China", maka lain halnya dengan tahun 1970-an dulu. Pada tahun 1970-an pasar Indonesia dibanjiri oleh banyaknya barang-barang produksi Jepang. Mungkin karena hal itulah yang membuat seorang Bung Karno pada saat itu akhirnya mengumandangkan gagasan “BERDIKARI” (Berdiri di Atas Kaki Sendiri) pertama kalinya di Indonesia.
Selama hidup, kita tentu memiliki banyak kebutuhan. Sadarkah Anda jika kebutuhan-kebutuhan itu semakin lama akan semakin bertambah dan semakin banyak lagi keinginan lainnya yang akan muncul seiring bertambahnya usia? Saat kita masih bayi, kita hanya butuh popok, baju, celana, susu, bubur dan perlengkapan bayi lainnya. Saat kita tumbuh menjadi anak-anak, kita membutuhkan pendidikan, alat tulis, buku-buku pelajaran, dan mainan-mainan. Saat kita beranjak remaja dan dewasa, mulai muncul kebutuhan-kebutuhan yang lebih besar dan lebih banyak. Kita butuh (atau ingin) pekerjaan, rumah, mobil, pendamping hidup, dll. Begitu seterusnya, kebutuhan kita bertambah seiring usia yang juga terus bertambah.
Sebenarnya tidak ada yang salah jika kita ingin memenuhi semua kebutuhan kita, termasuk kebutuhan akan barang-barang konsumtif yang mungkin juga suatu saat dapat berguna untuk mendukung kehidupan serba modern dan cepat seperti sekarang. Apalagi jika kita kembali berpatokan pada teori Maslow tadi, salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan untuk aktualisasi diri. Tak dapat dipungkiri, sampai saat ini masyarakat kita masih berpegangan pada stereotipe-stereotipe kuno yang menganggap bahwa orang yang memiliki banyak barang mahal akan dianggap sebagai orang kaya. Anggapan itu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi yang diberikan gelar tersebut. Maka mereka yang mampu akan terus membeli barang-barang mewah, agar kebutuhan mereka untuk aktualisasi diri dapat terpenuhi. Tetapi hendaknya kita dapat membedakan mana yang merupakan “kebutuhan” (needs) dan mana yang sekedar “keinginan” (wants). Secara definisi kata saja dua hal itu sudah berbeda. Kebutuhan adalah barang yang memang dibutuhkan untuk menunjang pekerjaan dan kehidupan sehari-hari, sedangkan keinginan adalah dorongan untuk dapat memiliki sesuatu yang bahkan kadang tidak direncanakan, atau dalam istilah ekonomi disebut Impulsif Buying. Definisi Impulsif Buying sendiri adalah perilaku seseorang yang membeli sesuatu tanpa direncanakan terlebih dahulu, pembeli seolah-olah "terbujuk" oleh teknik-teknik pemasaran atau iklan-iklan yang dilakukan oleh penjual. Maka tak jarang sebuah produk atau barang yang mereka beli sebenarnya tidak terlalu mereka butuhkan. Kita tidak boleh lupa, selain kebutuhan untuk dihargai dan aktualisasi diri, kita memiliki kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti salah satu yang tak pernah terduga adalah kebutuhan akan biaya rumah sakit dan atau biaya sekolah kita atau anak-anak kita. Sebenarnya dalam teori yang dikemukakannya, Maslow juga berpendapat bahwa kita akan mendahulukan kebutuhan yang lebih penting untuk dipenuhi terlebih dahulu daripada kebutuhan yang lainnya. Atau jangan-jangan tanpa kita sadari kebutuhan primer masyarakat abad ini benar-benar sudah bergeser dari sebelumnya. Tanyakan itu pada diri kita sendiri. Masing-masing dari kita pasti sudah memiliki jawabannya masing-masing.
Sebuah pepatah lama berkata:
"Keinginan manusia itu seperti koin yang ia masukkan ke dalam sebuah karung dan ia bawa di punggungnya. Semakin banyak ia memiliki keinginan, maka semakin berat pula beban yang ia bawa di punggungnya."
Gitakara Ardhytama
0 comments
Posting Komentar