“Sekolah yang rajin, yang pinter, biar nanti bisa kerja di perusahan yang bagus.”
Pernahkah Anda dinasehati oleh orangtua Anda, atau setidaknya mendengar kalimat seperti itu? Kalau iya, selamat, berarti kita berada di circle yang sama. Kita dibesarkan oleh orangtua-orangtua yang masih memegang teguh pemikiran-pemikiran lawas. Sekarang pertanyaannya adalah, jadi apa Anda sekarang? Jika memang sekarang Anda merasa sudah menjadi seperti apa yang diingiinkan orangtua dan Anda juga bahagia, selamat, Anda beruntung bisa berbahagia dengan cara seperti itu. Sayangnya, saya tidak.
Saya adalah anak generasi 90-an, yang dibesarkan dengan pemahaman orangtua yang seperti itu dan bahkan parahnya, sampai detik ini mereka masih memegang teguh pemikiran yang menurut saya “kuno” itu. Setidaknya Ibu saya yang masih yakin akan pemikiran itu, tapi tidak lagi bagi bapak saya. Semua itu bisa dengan jelas yang lihat dan dengarkan dari nasehat-nasehat beliau, bahkan sampai hari ini.
Tidak salah memang jika orangtua menginginkan anaknya menjadi manusia yang lebih sukses daripada dirinya, bahkan itu harus, itulah tujuan mereka menyekolahkan kita bukan? Tetapi menurut saya, itu hanyalah salah satu cara untuk memperoleh kesuksesan itu sendiri. Jika acuan kesuksesan yang kita anut adalah tentang dimana Anda bekerja, seberapa tinggi jabatan Anda di dalam sebuah perusahaan, dan seberapa besar rumah dan tabungan di rekening Anda, maka silahkan ikuti pemahaman yang telah diberikan orangtua Anda.
Bagi saya pribadi, ukuran kesuksesan dalam hal bekerja adalah dengan mengerjakan apapun yang saya senangi, saya bahagia mengerjakannya, dan saya tidur dengan nyenyak dan bangun dengan perasaan tenang walaupun satu jam kemudian saya harus berhadapan kembali dengan pekerjaan saya yang kemarin belum selesai. Itulah yang saya sebut sukses. Bagi saya pribadi, untuk apa menjadi seorang karyawan yang berpakaian rapi, disanjung-sanjung di lingkungan perumahannya, dielu-elukan oleh orangtua dan keluarganya, tetapi setiap pagi bangun dengan pundak dan bahu yang masih pegal, sarapan di satu meja makan tetapi tak pernah mendengarkan anak dan istrinya bercerita, pergi pagi dan pulang tengah malam, begitu sampai di rumah anak istri sudah terlelap, Anda datang ke rumah hanya untuk tidur beberapa jam dan kemudian bangun untuk menjalani lagi siklus yang sama setiap hari. Bagi saya itu bukan hidup yang saya inginkan. Keluarga tidak berjalan dengan baik jika terus seperti itu jalan ceritanya.
Di pekerjaan saya yang terakhir, saya melihat dan mendengar sendiri teman-teman kerja saya mengeluh setiap hari. Setiap pagi percakapan di tempat kerja selalu diawali dengan mengeluhkan pekerjaan kemarin, suasana kantor, sikap-sikap atasan dan rekan kerja lainnya, bahkan sampai sepatu atau baju yang dikenakan tak luput jadi bahan perbincangan di ruang kerja waktu itu. Dari pengalaman mendengarkan dan menelaah keluhan-keluhan rekan kerja saya itulah saya semakin memupuk niat saya untuk bisa keluar dari pekerjaan saya yang lama, dan membangun usaha saya sendiri yang saya jalankan sendiri dan kerjakan sendiri dengan penuh sukacita dan rasa tulus dalam bekerja.
Saat ini saya sudah bekerja di sebuah pekerjaan yang menurut saya bisa membahagiakan saya. Memang uang yang saya hasilkan dari pekerjaan ini tidaklah sebesar pekerjaan saya yang lama. Tetapi mengingat ukuran kesuksesan saya yang tidak pernah saya gantungkan pada jumlah uang yang saya bawa pulang, saya bahagia. Orangtua saya yang masih memegang persepsi-persepsi lama pada saat itu memang kurang mendukung pekerjaan baru saya. Mereka masih saya menyarankan saya untuk berusaha menjadi aparatur sipil negara, mendaftar di perusahaan-perusahaan yang menurut mereka bagus, bertanya ke sanak saudara lowongan-lowongan pekerjaan yang bisa saya isi. Kejadian yang sempat membuat saya terpukul adalah saat mereka merendahkan usaha saya yang sedang membangun sendiri bisnis kecil saya. Ibu saya bilang saya adalah “direktur tak ber-uang”, saya tertawa, tetapi batin saya kecewa. Awalnya saya marah, saya tidak terima, saya benar-benar kecewa dengan Ibu saya. Tetapi kemudian batin saya berbicara pada saya, “mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Saya terdiam, saya berusaha keras untuk memaafkan.
Memang, pendapat saya ini tidak akan cocok untuk semua orang. Akan ada saja orang yang merasa saya meremehkan jabatan karyawan atau pegawai. Tapi saya mau Anda baca kembali opini ini dari awal, bukankah saya sudah bilang di awal, berkali-kali saya katakan: ini adalah pendapat saya pribadi. Jadi silahkan berpendapat yang lain jika memang menurut Anda itu yang paling benar. Silahkan. Saya hanya memberikan perspektif lain pada Anda. Kesuksesan itu punya banyak jalan dan salah satunya adalah dengan menjadi karyawan. Tetapi sekali lagi, itu hanya salah satunya. Saya ingin mengambil jalan yang berbeda dengan Anda. Coba tanyakan pada diri Anda sendiri, pada teman-teman sekerja Anda yang mungkin sering mengeluhkan pekerjaannya: “bahagiakah Anda di pekerjaan Anda sekarang? Jika tidak, lantas mengapa masih bertahan?” Jika Anda masih bahagia dengan pekerjaan Anda sekarang, berbahagialah, selamat, lanjutkan. Jika tidak bahagia, mengapa masih bertahan? Jika perkara hutang dan kepastian gajian yang Anda permasalahkan, itu berarti kita punya pemikiran yang berbeda tentang uang. Silahkan. Tidak ada benar dan salah dalam hal mempertahankan sebuah karir. Itu hak dan keputusan Anda sepenuhnya. Tetapi coba pikirkan kembali cara Anda menanamkan nilai bekerja dalam benar anak cucu Anda di masa depan nanti. Jika seandainya kalimat yang ada di awal paragraf ini tadi dapat saya ubah, alih-alih mengatakan“Sekolah yang rajin, yang pinter, biar nanti bisa kerja di perusahan yang bagus” mengapa tidak kita katakan “Sekolah yang rajin, yang pinter, biar nanti bisa bikin perusahan yang bagus.”
Bagi pekerja keras di luar sana, semangat terus bekerjanya, selama kalian dan keluarga bisa berbahagia, kalian menang. Menang melawan ketidak harmonisan. Tetapi jangan lupa, waktu Anda, sisihkan untuk keluarga. Karena mereka butuh kehadiran Anda, bukan hanya uang dari Anda. Percayalah, saya dulu juga anak-anak yang mendambakan jalan-jalan bersama keluarga yang tidak selalu membicarakan soal pekerjaan.
Bagi pejuang mimpi, yang tak mau hidup di bawah bayang-bayang intervensi, selamat menikmati kebebasan kalian. Bekerjalah dengan tulus, mengerjakan apapun yang membuat rasa penasaran kalian selalu haus. Jangan hanya memikirkan soal uang, burung di udara saja bisa hidup tanpa kau beri makan, maka jangan khawatir soal hari depan. Santai saja, hidup itu dijalani, bukan lari-lari. Jangan tergesa, perlahan usahamu untuk tetap bertahan pasti diganjar kesuksesan.
- Gitakara Ardhytama
0 comments
Posting Komentar